Keberuntungan Tercapai Dengan Tawasul dan Jihad
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allâh, dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. [al-Mâidah/5: 35]
al-Hâfizh Ibnu Jarîr at-Thabari rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat ini, “Hai orang-orang yang membenarkan semua yang diberitakan oleh Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya kepada kalian, dan Dia Azza wa Jalla telah menjanjikan pahala dan mengancam dengan hukuman, sambutlah seruan Allâh Azza wa Jalla dalam seluruh perkara yang diperintahkan dan dilarang untuk kalian dengan penuh ketaatan kepada-Nya (dalam melaksanakan perintah dan menjauhkan larangan), dan wujudkanlah keimanan kalian dan pembenaran kalian kepada Rabb dan Nabi kalian dengan amal-amal shalih kalian.
وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
Dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya,” yaitu carilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan amalan yang diridhai-Nya.
Firman-Nya :
وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
Dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya,” artinya al-qurbah , maksudnya seperti yang dikatakan oleh Imam Qatâdah rahimahullah,
تَقَرَّبُوْا إِلَيْهِ بِطَاعَتِهِ وَالْعَمَلِ بِمَا يُرْضِيْهِ.
“Hendaklah kalian mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan taat kepada-Nya dan melakukan amal shalih yang diridhai-Nya.”[1]
al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat ini, “Allâh Azza wa Jalla berfirman untuk memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman agar bertakwa kepada-Nya. Lafazh ketakwaan apabila disertai ketaatan kepada-Nya, maksudnya yaitu tindakan menghindari segala hal yang haram dan meninggalkan semua larangan. Setelah itu, Allâh Azza wa Jalla berfirman,
وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
“Dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya.”
Imam Qatâdah berkata, “Artinya, hendaklah kalian mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla , dengan menaati dan mengerjakan segala yang diridhai-Nya.” (Mengenai al-wasîlah ini), Imam Ibnu Zaid rahimahullah membaca ayat,
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ
Orang-orang yang kamu seru itu, mereka sendiri mencari jalan (wasilah) kepada Rabb mereka.” [Al-Isrâ’/17:57].
Itulah yang dikemukakan oleh para imam yang di dalamnya tidak terdapat perbedaan pendapat di antara ahli tafsir.
Wasîlah adalah sarana yang mengantarkan pada pencapaian tujuan. Wasîlah juga merupakan isim ‘alam (nama tempat) untuk tempat yang berada paling tinggi di Surga, yang merupakan kedudukan dan tempat tinggal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Surga. Itulah tempat di Surga yang paling dekat dengan ‘Arsy. Dalam Shahîh al-Bukhâri telah ditegaskan melalui jalan Muhammad bin al-Munkadir, dari Jâbir bin ‘Abdillâh Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَالَ حِيْنَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ: اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ إِلَّا حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
Barang siapa setelah mendengar seruan adzan mengucapkan, ‘Ya Allâh, Rabb pemilik seruan yang sempurna ini, dan shalat yang akan didirikan ini, karuniakanlah kepada Muhammad wasilah dan keutamaan, serta anugerahkanlah kepadanya tempat terpuji yang telah Engkau janjikan kepada-Nya.’ Maka, ia berhak mendapatkan syafaat pada hari Kiamat kelak.[2]
Dalam Shahîh Muslim diriwayatkan sebuah hadits dari Ka’ab bin ‘Alqamah, dari ‘Abdurrahmân bin Jubair, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin a-‘Ash Radhiyallahu anhu bahwa ia pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ، ثُمَّ صَلُّوْا عَلَيَّ، فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا، ثُمَّ سَلُوْا اللهَ لِيَ الْوَسِيْلَةَ، فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِيْ الْجَنَّةِ لَا تَنْبَغِيْ إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ، وَأَرْجُوْ أَنْ أَكُوْنَ أَنَا هُوَ، فَمَنْ سَأَلَ لِيَ الْوَسِيْلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ.
Jika kalian mendengar seruan muadzin, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkannya, lalu bershalawatlah kepadaku. Karena sesungguhnya barang siapa bershalawat kepadaku satu kali, Allâh akan bershalawat kepada-Nya sebanyak sepuluh kali. Kemudian mohonkanlah wasilah (derajat di Surga) untukku, karena sesungguhnya wasilah itu merupakan kedudukan di surga yang tidak diperuntukkan kecuali bagi salah seorang hamba dari hamba-hamba Allâh . Aku berharap orang itu adalah aku. Barang siapa memohonkan wasilah untukku, maka ia berhak mendapatkan syafaatku.[3]
Firman-Nya :
وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan berjihadlah di jalan-Nya supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Setelah Allâh Azza wa Jalla memerintahkan mereka untuk meninggalkan semua yang haram dan berbuat ketaatan, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan mereka untuk memerangi semua musuh dari kalangan orang kafir dan musyrik yang keluar dan meninggalkan agama yang lurus. Allâh Azza wa Jalla mendorong mereka dengan apa yang Dia Azza wa Jalla janjikan bagi para mujahid di jalan-Nya pada hari Kiamat kelak, berupa kemenangan dan kebahagiaan yang besar lagi abadi. Kemenangan dan kebahagiaan yang tidak berubah dan tidak sirna. Di dalam ruangan-ruangan yang tinggi dan penuh rasa aman, pemandangan yang menyenangkan, tempat tinggal yang sangat bagus. Orang yang menempatinya akan benar-benar menikmati tanpa berputus-asa, terus hidup dan tidak mati, pakaiannya tidak pernah usang, dan masa mudanya pun tidak pernah berakhir.[4]
Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah berkata tentang tafsir ayat ini, “Ayat ini merupakan perintah dari Allâh Azza wa Jalla untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, tercakup di dalamnya iman, termasuk takwa kepada Allâh Azza wa Jalla dan berhati-hati dari adzab dan murka Allâh Azza wa Jalla . Dan semua itu (dapat direalisasikan) seorang hamba dengan bersungguh-sungguh, mencurahkan segenap kemampuan yang bisa dicapainya dalam menjauhi perkara yang dimurkai Allâh Azza wa Jalla , seperti maksiat hati, lisan, anggota badan, yang tampak maupun yang tersembunyi. Dan seorang hamba hendaklah memohon kepada Allâh Azza wa Jalla untuk dapat meninggalkan maksiat tersebut agar selamat dari adzab Allâh Azza wa Jalla .
Firman-Nya :
وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
“Dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya,”
Yaitu yang dekat dari-Nya, keutamaan di sisi-Nya, dan cinta kepada-Nya. Itu semua dihasilkan dengan melaksanakan amalan-amalan hati, seperti cinta kepada Allâh Azza wa Jalla , cinta karena Allâh Azza wa Jalla , takut, harap, taubat, dan tawakkal kepada-Nya. Dan amalan-amalan badan seperti zakat dan haji. Juga amalan-amalan yang mencakup hati dan anggota tubuh seperti shalat, membaca al-Qur`ân, dzikir, berbuat baik kepada makhluk dengan harta, ilmu, kedudukan, anggota tubuh, dan saling menasehati. Semua amalan ini mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla . Dan seorang hamba senantiasa mendekatkan diri kepada Allâh dengan amalan-amalan tersebut sampai Allâh mencintainya….. Kemudian Allâh Azza wa Jalla mengkhususkan ibadah yang mendekatkan diri kepada-Nya dengan jihad di jalan Allâh Azza wa Jalla , yaitu mencurahkan segenap kemampuan dalam memerangi orang-orang kafir, dengan harta, jiwa, akal, lisan, dan berusaha menolong agama Allâh Azza wa Jalla dengan segala kemampuan yang dimiliki seorang hamba, karena jihad di jalan Allâh Azza wa Jalla adalah ketaatan yang paling mulia dan pendekatan diri (kepada Allâh Azza wa Jalla ) yang paling utama.
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Jika kalian bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla , dengan meninggalkan maksiat, mencari wasîlah yang mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan mengerjakan ketaatan, berjihad di jalan-Nya, dan mencari keridhaan-Nya. Al-Falâh ialah kesuksesan dan kemenangan dengan semua yang dituntut dan disukai, dan keselamatan dari semua yang ditakuti. Jadi, hakekat al-falâh adalah kebahagiaan yang abadi dan kenikmatan yang kekal.”[5]
Seluruh Sahabat, Tabi’in dan para Ulama mufassirin menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla :
وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
Dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya,”
Dengan al-qurbah , maksudnya seperti yang dikatakan oleh Imam Qatâdah rahimahullah, “Hendaklah kalian mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan taat kepada-Nya dan melakukan amal shalih yang diridhai-Nya.”[6]
Jadi, wasîlah dalam ayat ini bukan wasîlah dan tawasul yang diartikan oleh sebagian kaum Muslimin yang mengartikan tawasul dengan orang mati, atau tawasul dengan orang shalih yang sudah meninggal. Ini perbuatan tawasul yang dilarang dan ini adalah syirik.
Tawasul dalam ayat di atas memerintahkan kita untuk berlomba-lomba dan bersegera melakukan amal-amal shalih yang dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla dan menjauhkan apa-apa yang dilarang oleh Allâh Azza wa Jalla .
Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk mendekat diri kepada-Nya dengan melakukan amal-amal shalih, seperti ikhlas, tawakkal, takut, berharap hanya kepada Allâh Azza wa Jalla , mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla , menjauhkan segala macam bentuk kesyirikan, melaksanakan shalat, zakat, sedekah, puasa, haji, silaturrahim, menolong orang-orang yang susah, daan lainnya.
Fawâid Ayat:
- Wajib bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla .
- Takwa seperti yang disebutkan oleh Imam Thalq bin Habîb t adalah engkau melakukan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla berdasarkan cahaya dari Allâh Azza wa Jalla karena mengharap pahala dari-Nya, dan engkau meninggalkan segala bentuk kemaksiatan kepada-Nya berdasarkan cahaya dari-Nya karena takut terhadap siksa-Nya.[7]
- Takwa adalah melaksanakan perintah-perintah Allâh Azza wa Jalla dan menjauhi larangan-Nya.
- Disyariatkan untuk tawasul kepada Allâh Azza wa Jalla , yaitu dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya dan melakukan amal shalih yang diridhai-Nya.
- Yang dimaksud dengan tawasul dalam ayat ini adalah mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan taat kepada-Nya dan melakukan amal shalih yang diridhai-Nya.
- Tawasul yang paling besar (agung) adalah dengan mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan menjauhkan syirik.
- Bertawasul (meminta keperluan atau hajat) dengan orang yang sudah mati adalah syirik besar.
- Diperintahkan untuk berjihad di jalan Allâh Azza wa Jalla .
- Jihad adalah ibadah dan wajib dilaksanakan menurut syarat dan kaidah yang telah ditetapkan oleh al-Qur`ân dan Hadits.
- Keberuntungan akan tercapai dengan ilmu, tauhid, iman, amal shalih, dan jihad di jalan Allâh Azza wa Jalla .
Wallâhu a’lamu bis shawâb.
_______
Footnote :
[1] Diringkas dari Tafsîr at-Thabari (IV/566-567), Dârul Kutub al-‘Ilmiyyah Beirut Cet. I, Thn. 1412 H.
[2] Shahîh: HR. al-Bukhâri (Fathul Bâri, II/94, no. 614), Abû Dâwud (no. 529), at-Tirmidzi (no. 211), an-Nasâi (II/26-27) dan Ibnu Mâjah no. 722.
[3] Shahîh: HR. Muslim no. 384, Abû Dâwud no. 523, at-Tirmidzi no. 3614, dan an-Nasâi II/25, lafazh ini milik Muslim.
[4] Diringkas dari Tasfîr Ibni Katsîr III/103-105, tahqîq Sami Muhammad as-Salâmah, Cet.IV, Thn. 1428 H, Dâr at-Thaibah.
[5] Taisîrul Karîmir Rahmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân, hlm. 218-219, Maktabah al-Ma’ârif, cet.1, th. 1420 H.
[6] Tafsîr at-Thabari IV/567 Cet.I, Thn.1412 H.
[7] Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh ‘Abdullâh Ibnul Mubârak dalam az-Zuhd no. 1054, Hannâd dalam az-Zuhd no. 522, Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 30878, 36169), dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ III/75, no. 3220. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam takhrij Kitâbul Imân no. 99, karya Ibnu Abi Syaibah. Lihat juga Risâlah at-Tabûkiyyah hlm. 43-44 karya Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XV/1433H/2012M]
Artikel asli: https://majalahassunnah.net/artikel/keberuntungan-tercapai-dengan-tawasul-dan-jihad/